Tuesday, November 18, 2008

Superblok, Primadona Baru

Pengembang properti ramai-ramai menggarap proyek superblok. Bahkan, berdasarkan analisa Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia Panangian Simanungkalit kapitalisasi pada periode 2006 sampai 2013 mendatang mencapai Rp94,8 triliun.

"Pasar properti di Indonesia memang anomali pada saat negara lain mengalami perlambatan, di Indonesia justru booming," kata Panangian di Jakarta, Selasa (26/8).

Menurut dia, kondisi ini terkait erat dengan kemampuan Indonesia lolos dari krisis yang melanda dunia akibat BBM, naiknya harga pangan, serta finansial yang dipicu kasus supreme mortgage di Amerika Serikat.

"Bisa dilihat dari indikator inflasi China delapan persen padahal biasanya empat persen, India 7,5 persen semula 3,5 persen, Malaysia tujuh persen semula dua persen, Singapura delapan persen semula 2,5 persen, Vietnam 12 persen semula enam persen, dan Australia 7,5 persen semula tiga persen," kata Panangian.

Indonesia hanya terpengaruh sedikit akibat krisis BBM sedangkan lainnya tidak terkena sama sekali sehingga diperkirakan inflasi tahun 2008 sekitar 11,5 persen dari semula 6,5 persen. Akan tetapi, hal ini tidak berlangsung lama tahun 2009 mendatang diperkirakan kembali 6,5 persen, kata Panangian menjelaskan.

Menurut Panangian, harga bahan bangunan memang mengalami kenaikan 10 sampai 20 persen. Tapi, kenaikan itu masih lebih murah ketimbang di Singapura. Superblok di Indonesia biaya konstruksinya sekitar 2.000 dollar AS per meter persegi, sementara di Singapura mencapai 15.000 dollar AS per meter persegi.

Panangian mengatakan dengan perkembangan ekonomi yang tidak menguntungkan di luar negeri, pembeli properti asal Indonesia yang semula memiliki properti di Singapura kini kembali ke Indonesia. Salah satunya, mereka melakukan investasi di superblok.

Panangian mengatakan keterbatasan lahan di kota-kota besar mendorong pengembang membangun superblok yang di dalamnya mengkombinasikan mal, hunian (apartemen), hotel, serta perkantoran dalam satu kawasan (mixed use).

Tetapi hanya pengembang yang memiliki modal kuat saja yang sanggup membangun superblok karena untuk lahan di bawah tiga hektare setidaknya dibutuhkan dana Rp1 triliun, 3-5 hektare Rp2 triliun, serta lebih dari lima hektare Rp3 triliun.

Panangian mengatakan berbeda dari sebelum krisis pembangunan proyek properti saat ini dilandasi dari sumber dana yang kuat dari pengembang. Mereka kemudian melihat peluang bisnis untuk proyek properti dengan harga Rp1 miliar (segmen menengah atas).

Sejumlah pengembang yang masuk superblok menurut catatan Panangian ada 12 proyek di antaranya CBC Pluit milik Agung Sedayu Group, Gandaria City milik Pakuwon Group, Regatta The Icon milik Intiland Development, Podomoro City milik Agung Podomoro Group, Rasuna Epicentrum milik Bakrieland Development, Season City milik Agung Podomoro Group, Kemang Village Lippo Group, St. Moritz Lippo Group, Ciputra World Jakarta milik Ciputra Group, Tangerang City milik Trivo Group, Kota Casablanca milik Pakuwon Group, dan Kuningan City milik Agung Podomoro Group.

Panangian memperkirakan, para pengembang itu memanfaatkan lahan mulai dari 29.000 meter persegi sampai dengan 210.000 meter persegi dengan nilai kapitalisasi paling rendah Rp4,4 triliun di Tangerang City sampai Rp11,6 triliun di St.Moritz.

Kompas: Selasa, 26 Agustus 2008