Thursday, November 20, 2008

Apartemen di Bali: Dimensi dalam Konstruksi

SAYA teringat, salah satu hal yang menyebabkan saya memutuskan untuk hidup dan tinggal di Bali adalah karena Bali relatif mempunyai sesuatu yang lugu, murni, jauh dari tanda-tanda ikonik yang berkesan angkuh dan jumawa seperti di kota-kota besar lainnya di Indonesia, sebutlah seperti di Jakarta atau Surabaya.

Walaupun saya sadar betul bahwa tidak ada yang 100% murni – selalu terdapat ideologi di baliknya, meski ideologi itu bernama ‘idealisme kapitalisme’ karena ujung-ujungnya toh dijual juga, karena bagaimanapun Bali sangat identik dengan dunia pariwisata yang tak terlepas dari kapitalisme itu sendiri.

Seiring dengan perjalanan waktu, percepatan pertumbuhan komoditi pariwisata di Bali sangat kuat terlihat, terutama dalam tiga tahun terakhir. Selalu ada wilayah baru yang belum kita akrabi, membuat pulau ini semakin tajam terdiri dari berbagai lapis dimensi.

Perbedaan dimensi ini menjadi semakin nyata dalam dua arti. Pertama, semakin jauhnya dari akar budaya dan kebiasaan hidup masyarakat Bali. Yang kedua, terjadinya penumpukan bangunan di wilayah-wilayah tertentu saja walaupun, ya itu tadi, merupakan hal yang sah-sah saja karena ada pertaruhan nilai investasi.

Dari pesisir Barat sampai ke Selatan hingga ke pelosok-pelosok desa yang terpencil kita melihat bangunan-bangunan komersial tertentu, pembangunan Villa, hotel butik dan apartemen yang mulai menjulang. Semuanya menurut saya ‘sahih’, tetapi cenderung menjadi pemandangan yang sama seperti yang dapat kita jumpai di tempat-tempat lain di luar Bali.

Lihatlah kotak-kotak kaca yang saling bertumpuk vertikal di depan pantai atau di tengah padang, seakan tampil nyaris dalam satu keseragaman, tidak ada bedanya dengan bentukan-bentukan yang ada di Jakarta, Singapore, Gold Coast atau Hong Kong.

Eksotisme budaya dan sedikit atmosphere magis yang kental menyelimuti berbagai tempat di Bali menjadi daya tarik luar biasa, terutama bagi dunia pariwisata, perlahan-lahan mengalami pergeseran. Tidak bisa dipungkiri pergeseran tersebut mungkin memang harus terjadi sebagai jawaban dari permintaan pasar, sebagai bentuk perkembangan atau mungkin tanggung jawab atas reputasi Bali sebagai tujuan pariwisata dunia.

Jalan-jalanlah di daerah Sunset Road, Pecatu atau Blue Ocean (daerah Double Six yang terkenal itu), dan masih banyak tempat-tempat lainnya yang sedang dalam tahapan pembangunan. Dengan mudah Anda akan menjumpai unit apartemen empat sampai lima lantai, yang akan membuat Anda merasa seperti bukan di Bali lagi.

Bagi saya sebelumnya, Bali adalah deretan bangunan-bangunan yang ramah (karena tidak menjulang tinggi seolah angkuh tak terjamah) dengan fasad yang kontekstual dengan lingkungan. Sedikit terkesan kampung jauh dari kesan gemerlapan. Sebuah konstruksi citra diri yang melekat sekian lama; potret kreativitas yang kental dengan budaya.

Walaupun secara langsung berhubungan dengan masyarakat, budaya dan peradaban luar, Bali jauh dari kesan gemerlap nan jumawa, hotel, villa, resor, kafe-kafe hadir dalam bentuk yang manusiawi, hangat dan akrab dengan ukuran kemewahan tersendiri.

Waktu memang bergerak dan semua yang tidak mau menjadi sejarah harus larut di dalamnya. Begitu juga pertumbuhan akomodasi di Bali dengan fenomena maraknya pembangunan apartemen saat ini. Dapat dimengerti, jika percepatan pembangunan yang terjadi seakan-akan menjadi momen balas dendam setelah sempat beberapa saat mengalami keterpurukan akibat bom bali yang dua kali meluluh lantahkan sektor pariwisata, yang menyebabkan hampir setiap sendi kehidupan di Bali berinteraksi secara langsung dengannya. 

Apartemen atau rumah publik pada dasarnya adalah ‘merumah’ di lahan yang semakin terbatas, jawaban untuk memiliki rumah dengan fasilitas yang kompak dan efisien, atau mempunyai rumah yang terjangkau di area favorit.

Selain itu sebagai pilihan gaya hidup atau bahkan bisa menjadi representasi kelas tertentu, karena pertumbuhan ekonomi kelas menengah baru hampir di banyak tempat di Indonesia atau di negara lain, yang mana golongan ini notabene mempunyai daya mobilitas dan daya beli yang tinggi, sehingga merupakan sasaran yang pas untuk dieksploitasi seluruh kebutuhannya.

Kita tidak bisa menutup mata. Pembangunan-pembangunan ini merupakan geliat roda ekonomi di Bali yang bukan terjadi dengan ‘tidak sengaja dan tanpa upaya’, adalah upaya integral untuk kembali menaikkan pamor Bali sebagai tempat favorit tujuan wisata dunia. Salah satu indikasi pertumbuhan ekonomi memang dengan mudah terlihat secara makro dengan pesatnya pertumbuhan properti termasuk apartemen-apartemen ini, dan menjadi lahan investasi menarik bagi para penanam modal baik dalam maupun luar negeri.

Pertanyaannya sekarang, apakah pertumbuhan apartemen-apartemen tersebut terjadi secara sembarangan atau terkonstruksi? Mungkin ada baiknya bagi pihak-pihak terkait untuk mencermati secara mendalam dan mempunyai kontrol yang ketat terhadap pemberian ijin membangun misalnya, supaya tidak menjadi pertumbuhan yang silang sengkarut dan merugikan banyak pihak. Karena berbicara tentang pertumbuhan infrastuktur (baca: apartemen) melibatkan tanggung jawab yang kompleks baik dari pihak pengembang dan pemerintah Bali itu sendiri.

Bagi pemerintah tentu saja merupakan hal yang menguntungkan, tetapi terjadi kebijaksanaan yang ‘tidak bijaksana’ seperti pemberian ijin bangunan secara sembarangan. Satu bangunan dapat lolos didirikan tetapi tidak satu atau dua kali terjadi, pada bangunan yang lain terdapat revisi terhadap bentuk desain yang tidak sesuai dengan bentuk ‘tradisional Bali’ yang berujung pada pemberhentian pembangunan. Atau bahkan perubahan desain bangunan secara total.

Tentu saja hal ini mengakibatkan kerugian bagi pihak penanam modal, dan menyebabkan jalur investasi tersendat karena ketidaksiapan pihak terkait menyiapkan perangkat peraturan yang menjamin amannya investasi tersebut dilakukan. 

Penyebaran lokasi, hal ini sangat penting supaya tidak terjadi penumpukan di daerah-daerah tertentu seperti yang sudah sempat disinggung sebelumnya yang bisa mengakibatkan persaingan harga yang tidak sehat, menimbulkan lapisan dimensi yang semakin dalam. Yang tentu saja pada akhirnya juga merugikan semua pihak. Secara mikro juga harus terdapat cultural profit di dalamnya.

Jangan sampai dengan maraknya pembangunan tersebut menggerus pesona eksotisme budaya dan pesona alam Bali yang menjadi komoditas pariwisata utama. Jika muncul permasalahan baru, seperti lapis-lapis dimensi yang bertumpuk absurd, kalau primadona tersebut hilang harus ada alternatif gantinya, siapkah??? (Text: Georgie T. Kadarusman; graphic: bh) •

Georgie T. Kadarusman. (Interior Architect)