PERTUMBUHAN industri properti yang sebelumnya diperkirakan bakal melambat seiring meningkatnya inflasi dan suku bunga ternyata malah menunjukkan perkembangan spektakuler sepanjang tahun 2008.
Hal itu ditandai dengan pesatnya laju kredit properti yang meliputi kredit konstruksi, real estate, serta kepemilikan rumah dan apartemen yang di atas pertumbuhan kredit sektor lainnya. Di tengah tekanan inflasi dan suku bunga yang belum mereda hingga kini, penyaluran kredit properti yang tinggi tentu menyimpan potensi kredit bermasalah di kemudian hari.
Pesatnya pertumbuhan kredit properti tak terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang di luar dugaan masih memanas sampai sekarang. Kenaikan harga komoditas pertanian dan pertambangan yang gila-gilaan, terutama pada semester I-2008, ternyata telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan luar Jawa yang menjadi produsen komoditas bersangkutan.
Bergeraknya roda investasi dan usaha pada akhirnya melambungkan tingkat konsumsi masyarakat, termasuk pada permintaan properti. Tak aneh permintaan kendaraan bermotor dan semen untuk pembangunan properti mencapai puncaknya pada tahun ini.
Dunia usaha terus memacu ekspansinya tahun ini seolah tak peduli dengan tingginya inflasi dan suku bunga. Pelaku usaha berpikir, jika tidak sekarang, lantas kapan lagi waktu meningkatkan kapasitas usaha, mengingat tahun depan sudah memasuki masa penyelenggaraan pemilu yang tentu meningkatkan risiko usaha dan investasi.
Pelaku usaha membidik tahun 2010 yang disebut-sebut sebagai tahun kebangkitan Indonesia. Perilaku pengusaha ini tentu saja meningkatkan pendapatan dan konsumsi masyarakat di segmen tertentu. Alhasil, pertumbuhan kredit terus mencatat rekor, mencapai 32 persen pada Juli-Agustus 2008 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Industri properti yang selalu menjadi indikator awal dari perekonomian yang memanas pun tumbuh kencang mencapai 38,5 persen pada periode yang sama. Kredit konstruksi yang antara lain berupa pembangunan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan tumbuh sekitar 40 persen dari Rp 38,5 triliun pada Juli 2007 menjadi Rp 54 triliun pada Juli 2008.
Kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), dan kredit pemilikan rumah toko (ruko) atau rumah kantor (rukan) tumbuh 38 persen pada periode yang sama, dari Rp 73,64 triliun menjadi Rp 101,45 triliun.
Fenomena tersebut seolah membalikkan semua prediksi, yang awalnya menyebutkan industri properti tahun ini paling banter hanya tumbuh 25 persen. Bahkan, awalnya diperkirakan pembangunan pusat perbelanjaan dan mal akan mengalami kontraksi pada tahun 2008 mengingat segmen ini dianggap sudah jenuh, yang ditandai dengan banyaknya tenan yang kosong.
Bank Tabungan Negara (BTN), yang selama ini fokus membiayai kredit properti, pun kebanjiran permintaan. Kredit perumahan baru yang disalurkan BTN selama periode Januari-Juni 2008 mencapai Rp 4,52 triliun, meningkat 79 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang hanya sekitar Rp 2,37 triliun.
Pertumbuhan kredit baru yang pesat terutama terjadi pada KPR nonsubsidi yang tumbuh sekitar 113 persen, dari Rp 1,7 triliun menjadi Rp 3,63 triliun.
Memasuki semester II-2008, pertumbuhan kredit BTN bertambah pesat. Pada akhir Juli 2008, kredit baru yang disalurkan BTN mencapai Rp 5,29 triliun, atau sudah mencapai 73,4 persen dari target keseluruhan tahun 2008 yang sebesar Rp 7,2 triliun. ”Target keseluruhan tahun diperkirakan sudah akan tercapai pada bulan September 2008,” kata Dirut BTN Iqbal Latanro, beberapa waktu lalu.
Kualitas pertumbuhan kredit
Hingga akhir Juli 2008, kualitas pertumbuhan kredit properti memang masih berlangsung baik. Rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) kredit konstruksi secara gross (belum dikurangi provisi) hanya 3,79 persen. Begitu pula dengan NPL KPR dan KPA yang angkanya terus menurun dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.
Namun, pertumbuhan kredit properti yang terlampau cepat tetap mesti diwaspadai di tengah kondisi perekonomian yang belum menentu seperti saat ini. Inflasi per Agustus 2008 telah mencapai 11,85 persen sehingga daya gerusnya terhadap nilai uang yang dimiliki masyarakat cukup besar. Tekanan terhadap inflasi masih tetap tinggi di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Jika inflasi terus meningkat, suku bunga juga akan terus meninggi. Padahal, selama periode April-Agustus 2008 saja, bank-bank sudah menaikkan suku bunga KPR berkisar 0,5-1 persen menjadi sekitar rata-rata 15,5 persen per tahun.
Semakin tinggi kenaikan bunga KPR, tentu saja semakin mengurangi kemampuan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah untuk membayar cicilan sehingga memperbesar potensi kredit macet. Perilaku perbankan yang jorjoran memberikan pinjaman KPR sedikit banyak akan menjadi bumerang jika tidak dibarengi tingkat kehati-hatian yang tinggi.
Belum lagi intaian risiko resesi global yang terus mengancam hingga kini. Jika terjadi perlambatan ekonomi, sudah barang tentu pendapatan masyarakat relatif akan berkurang. Ujung-ujungnya tentu memengaruhi kemampuan nasabah dalam mencicil kredit.
Jangan jorjoran
Jika perbankan sudah tergelincir pada persoalan NPL, dampaknya akan berkepanjangan. Bank yang memiliki NPL tinggi tentu untuk sementara akan mengerem kreditnya sehingga pertumbuhan kredit menjadi tidak berkesinambungan.
Padahal, kebutuhan rumah oleh masyarakat merupakan persoalan yang tak pernah selesai, dalam arti kebutuhan papan akan terus ada sampai kapan pun. Jika terjadi pengereman KPR yang tajam gara-gara NPL, defisit antara pasokan dan permintaan rumah bakal kian membesar.
Apalagi, berdasarkan survei, sebagian besar pembelian rumah dilakukan dengan KPR. Rinciannya, 75,4 persen dengan KPR, 17,1 persen dengan tunai bertahap, dan 6,5 persen tunai keras. Karena itulah, untuk menjaga kesinambungan kredit properti, ada baiknya bank tidak jorjoran menyalurkan kredit hingga jauh melampaui target semula.
Bank Indonesia pun sebenarnya waswas dengan pertumbuhan permintaan, termasuk properti yang kian memanas. Namun, dilema klasik tak urung menghantui BI. Untuk meredam ekonomi yang memanas akibat tingginya permintaan, salah satu cara adalah dengan terus menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate yang akhirnya nanti akan mendorong kenaikan suku bunga kredit.
Namun, kenaikan BI Rate yang lebih tinggi, apalagi yang tidak proporsional, juga berpotensi meningkatkan NPL akibat terjadi kontraksi ekonomi yang terlalu dalam. Karena itulah, diperlukan pula kemauan perbankan untuk mengerem kreditnya. Menjaga kesinambungan pertumbuhan lebih penting ketimbang mengejar keuntungan besar, tetapi sesaat.
Hal itu ditandai dengan pesatnya laju kredit properti yang meliputi kredit konstruksi, real estate, serta kepemilikan rumah dan apartemen yang di atas pertumbuhan kredit sektor lainnya. Di tengah tekanan inflasi dan suku bunga yang belum mereda hingga kini, penyaluran kredit properti yang tinggi tentu menyimpan potensi kredit bermasalah di kemudian hari.
Pesatnya pertumbuhan kredit properti tak terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang di luar dugaan masih memanas sampai sekarang. Kenaikan harga komoditas pertanian dan pertambangan yang gila-gilaan, terutama pada semester I-2008, ternyata telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan luar Jawa yang menjadi produsen komoditas bersangkutan.
Bergeraknya roda investasi dan usaha pada akhirnya melambungkan tingkat konsumsi masyarakat, termasuk pada permintaan properti. Tak aneh permintaan kendaraan bermotor dan semen untuk pembangunan properti mencapai puncaknya pada tahun ini.
Dunia usaha terus memacu ekspansinya tahun ini seolah tak peduli dengan tingginya inflasi dan suku bunga. Pelaku usaha berpikir, jika tidak sekarang, lantas kapan lagi waktu meningkatkan kapasitas usaha, mengingat tahun depan sudah memasuki masa penyelenggaraan pemilu yang tentu meningkatkan risiko usaha dan investasi.
Pelaku usaha membidik tahun 2010 yang disebut-sebut sebagai tahun kebangkitan Indonesia. Perilaku pengusaha ini tentu saja meningkatkan pendapatan dan konsumsi masyarakat di segmen tertentu. Alhasil, pertumbuhan kredit terus mencatat rekor, mencapai 32 persen pada Juli-Agustus 2008 dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Industri properti yang selalu menjadi indikator awal dari perekonomian yang memanas pun tumbuh kencang mencapai 38,5 persen pada periode yang sama. Kredit konstruksi yang antara lain berupa pembangunan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan tumbuh sekitar 40 persen dari Rp 38,5 triliun pada Juli 2007 menjadi Rp 54 triliun pada Juli 2008.
Kredit pemilikan rumah (KPR), kredit pemilikan apartemen (KPA), dan kredit pemilikan rumah toko (ruko) atau rumah kantor (rukan) tumbuh 38 persen pada periode yang sama, dari Rp 73,64 triliun menjadi Rp 101,45 triliun.
Fenomena tersebut seolah membalikkan semua prediksi, yang awalnya menyebutkan industri properti tahun ini paling banter hanya tumbuh 25 persen. Bahkan, awalnya diperkirakan pembangunan pusat perbelanjaan dan mal akan mengalami kontraksi pada tahun 2008 mengingat segmen ini dianggap sudah jenuh, yang ditandai dengan banyaknya tenan yang kosong.
Bank Tabungan Negara (BTN), yang selama ini fokus membiayai kredit properti, pun kebanjiran permintaan. Kredit perumahan baru yang disalurkan BTN selama periode Januari-Juni 2008 mencapai Rp 4,52 triliun, meningkat 79 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang hanya sekitar Rp 2,37 triliun.
Pertumbuhan kredit baru yang pesat terutama terjadi pada KPR nonsubsidi yang tumbuh sekitar 113 persen, dari Rp 1,7 triliun menjadi Rp 3,63 triliun.
Memasuki semester II-2008, pertumbuhan kredit BTN bertambah pesat. Pada akhir Juli 2008, kredit baru yang disalurkan BTN mencapai Rp 5,29 triliun, atau sudah mencapai 73,4 persen dari target keseluruhan tahun 2008 yang sebesar Rp 7,2 triliun. ”Target keseluruhan tahun diperkirakan sudah akan tercapai pada bulan September 2008,” kata Dirut BTN Iqbal Latanro, beberapa waktu lalu.
Kualitas pertumbuhan kredit
Hingga akhir Juli 2008, kualitas pertumbuhan kredit properti memang masih berlangsung baik. Rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) kredit konstruksi secara gross (belum dikurangi provisi) hanya 3,79 persen. Begitu pula dengan NPL KPR dan KPA yang angkanya terus menurun dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya.
Namun, pertumbuhan kredit properti yang terlampau cepat tetap mesti diwaspadai di tengah kondisi perekonomian yang belum menentu seperti saat ini. Inflasi per Agustus 2008 telah mencapai 11,85 persen sehingga daya gerusnya terhadap nilai uang yang dimiliki masyarakat cukup besar. Tekanan terhadap inflasi masih tetap tinggi di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Jika inflasi terus meningkat, suku bunga juga akan terus meninggi. Padahal, selama periode April-Agustus 2008 saja, bank-bank sudah menaikkan suku bunga KPR berkisar 0,5-1 persen menjadi sekitar rata-rata 15,5 persen per tahun.
Semakin tinggi kenaikan bunga KPR, tentu saja semakin mengurangi kemampuan masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah untuk membayar cicilan sehingga memperbesar potensi kredit macet. Perilaku perbankan yang jorjoran memberikan pinjaman KPR sedikit banyak akan menjadi bumerang jika tidak dibarengi tingkat kehati-hatian yang tinggi.
Belum lagi intaian risiko resesi global yang terus mengancam hingga kini. Jika terjadi perlambatan ekonomi, sudah barang tentu pendapatan masyarakat relatif akan berkurang. Ujung-ujungnya tentu memengaruhi kemampuan nasabah dalam mencicil kredit.
Jangan jorjoran
Jika perbankan sudah tergelincir pada persoalan NPL, dampaknya akan berkepanjangan. Bank yang memiliki NPL tinggi tentu untuk sementara akan mengerem kreditnya sehingga pertumbuhan kredit menjadi tidak berkesinambungan.
Padahal, kebutuhan rumah oleh masyarakat merupakan persoalan yang tak pernah selesai, dalam arti kebutuhan papan akan terus ada sampai kapan pun. Jika terjadi pengereman KPR yang tajam gara-gara NPL, defisit antara pasokan dan permintaan rumah bakal kian membesar.
Apalagi, berdasarkan survei, sebagian besar pembelian rumah dilakukan dengan KPR. Rinciannya, 75,4 persen dengan KPR, 17,1 persen dengan tunai bertahap, dan 6,5 persen tunai keras. Karena itulah, untuk menjaga kesinambungan kredit properti, ada baiknya bank tidak jorjoran menyalurkan kredit hingga jauh melampaui target semula.
Bank Indonesia pun sebenarnya waswas dengan pertumbuhan permintaan, termasuk properti yang kian memanas. Namun, dilema klasik tak urung menghantui BI. Untuk meredam ekonomi yang memanas akibat tingginya permintaan, salah satu cara adalah dengan terus menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate yang akhirnya nanti akan mendorong kenaikan suku bunga kredit.
Namun, kenaikan BI Rate yang lebih tinggi, apalagi yang tidak proporsional, juga berpotensi meningkatkan NPL akibat terjadi kontraksi ekonomi yang terlalu dalam. Karena itulah, diperlukan pula kemauan perbankan untuk mengerem kreditnya. Menjaga kesinambungan pertumbuhan lebih penting ketimbang mengejar keuntungan besar, tetapi sesaat.
Sumber Harian umum Kompas, Kamis, 18 September 2008