Monday, November 24, 2008

Saatnya Kerja Sama Menangkis Krisis

Dampak krisis global sudah terasa. Industri padat karya penghasil produk konsumsi mulai meradang karena kehabisan permintaan. Order ekspor yang biasa melimpah di akhir tahun kini sepi. Buruh dan pengusaha pun berada di bibir jurang yang sama. Kerja sama yang solid kini dibutuhkan untuk menangkis dampak krisis.

Sekarang rasanya bukan saat yang tepat untuk saling berdebat. Krisis global sudah mulai menggerogoti kita. Jika tak solid, pengusaha dan buruh bakal sama-sama tergilas krisis global, yang berawal dari ambruknya sektor keuangan di Amerika Serikat dan Eropa.

AS mengalami tingkat pengangguran terburuk selama 14 tahun terakhir. Sebanyak 600.000 orang kehilangan pekerjaan dalam tiga bulan terakhir dan menjadi bagian dari 1,2 juta orang penganggur baru di AS tahun ini.

Pekerja industri manufaktur, properti, metal, dan jasa keuangan merupakan sektor yang paling banyak menjadi penganggur. Ekonom Goldman Sachs, biro riset AS, memperkirakan, tingkat pengangguran mencapai 8,5 persen tahun 2009.

Mereka yang tidak bekerja akan mengurangi belanja, yang menggerakkan dua pertiga kegiatan ekonomi nasional. Kondisi ini yang kemudian turut menekan permintaan pasar AS terhadap produk negara lain.

Produsen tekstil, produk tekstil, dan komponen elektronik atau kendaraan bermotor Indonesia mulai merasakannya.

Produsen yang berorientasi ekspor kini kehilangan pasar. Pasar lesu, bertepatan dengan berlangsungnya rutinitas akhir tahun penetapan upah minimum baru tahun 2009.

Industri padat karya kelimpungan. Mereka mulai mengurangi produksi sedikitnya 30 persen. Tak sedikit buruh yang dirumahkan. Buruh kontrak dan pemasok bahan baku pun terpaksa menganggur.

Kesinambungan

Kalangan serikat buruh dan pengusaha sepakat, kesinambungan pekerjaan sangat penting bagi pekerja. Namun, peran pemerintah sebagai pengawas implementasi peraturan ketenagakerjaan tetap dibutuhkan. Optimalisasi bipartit akan sulit tercapai jika pemerintah tidak netral.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban, forum bipartit di tingkat pabrik harus lebih aktif bertemu dan mencari solusi jika perusahaan menghadapi kendala. Politisasi persoalan justru bakal mempersulit keadaan. ”Segera identifikasi sektor yang terkena dampak langsung krisis agar proses penyelamatan bisa lebih cepat,” kata Rekson.

Soliditas buruh dan pengusaha sangat dibutuhkan sekarang untuk mencegah PHK massal jika krisis semakin parah. Lembaga donor internasional pun jangan lagi memakai syarat yang membebani negara debitor saat memberi pinjaman. Rekson bakal menyampaikan hal ini dalam pertemuan serikat buruh dari 20 negara dengan pemimpin G-20 di Washington DC, AS, Sabtu (15/11).

Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Said Iqbal mengatakan, manajemen harus lebih terbuka kepada serikat pekerja tentang kondisi perusahaan. Ini membuat pekerja lebih siap. ”Kalaupun dimulai dari pembahasan pergeseran jam kerja, dirumahkan, sampai akhirnya ada pemutusan hubungan kerja, semuanya tidak tiba-tiba. Jadi, pekerja bisa lebih mempersiapkan diri untuk mengantisipasinya,” kata Iqbal.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, pengusaha tetap memiliki kepentingan yang sama dengan buruh saat ini. Jika buruh membutuhkan pekerjaan, maka harus bersama dengan pengusaha mempertahankan perusahaan.

”Investasi baru sudah tak mungkin diharap saat ini. Jadi, tak ada jalan selain mempertahankan yang sudah ada. Pengusaha hanya butuh ketenangan agar usahanya tidak hancur akibat krisis global dan politisasi persoalan,” ujar Sofjan.

Hamzirwan 
Sumber : Kompas Cetak
Rabu, 12 November 2008