disadur langsung dari harian kompas , 23 Oktober 2008
SEJUMLAH pelaku usaha properti di Tanah Air kini dirundung resah. Kebijakan perbankan untuk memperketat likuiditas sebagai bentuk kehati-hatian dalam menyikapi krisis keuangan global dikhawatirkan berdampak terhadap perlambatan kucuran kredit.
Padahal, kredit konstruksi masih menjadi ”senjata” pengembang dalam menggarap proyek-proyek perumahan. Kegelisahan itu menyeruak tatkala Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate sebanyak 25 basis poin menjadi 9,5 persen tanggal 7 Oktober 2008. Kenaikan suku bunga acuan atau BI Rate menggiring perbankan untuk memperketat likuiditas sehingga mendorong kenaikan suku bunga kredit yang bermuara pada perlambatan kredit.
Sinyal perlambatan kredit, antara lain, diungkapkan oleh Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (BTN) Iqbal Latanro, awal pekan lalu. Menurut Iqbal, kenaikan suku bunga kredit akan memperlambat penyaluran kredit baru atau ekspansi kredit di sektor perumahan. Kondisi itu diprediksi berlanjut pada tahun 2009.
BTN selama ini menjadi andalan penyaluran kredit properti, tidak hanya berupa kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA), tetapi juga kredit konstruksi bagi pengembang. Hampir 95 persen kredit properti di Indonesia disalurkan oleh BTN.
Kejatuhan harga saham di bursa bahkan memicu BTN menunda penawaran saham perdana (IPO) dari tahun ini menjadi tahun 2009. Padahal, sejumlah 90 persen dana IPO itu akan dipakai untuk ekspansi kredit. IPO BTN direncanakan sebesar 30 persen dari total saham atau senilai lebih dari Rp 1 triliun.
Senada dengan BTN, bank-bank lain penyalur kredit konstruksi, KPR, dan KPA kini mengambil sikap lebih selektif dalam mengucurkan kredit perumahan berkaitan dengan prinsip kehati-hatian.
Ketua Umum Dewan Pimpinan Real Estat Indonesia (REI) Teguh Satria mengaku, kenaikan suku bunga kredit menyebabkan sebagian pengembang kini diliputi ketidakpastian sehingga cenderung wait and see. Beberapa pengembang bahkan sudah mengambil ancang-ancang menunda proyek baru mereka yang sedianya dijalankan pada awal tahun 2009.
Di sisi lain, pengembang sadar betul bahwa penundaan proyek pembangunan yang berlarut-larut akan menuai kerugian bagi pengembang. Sementara itu, proyek perumahan rakyat sebagai hak dasar warga negara harus terus berjalan.
Lantas, bagaimana seharusnya pengembang menyikapi permodalan di tengah makin ketatnya likuiditas perbankan? Pengembang perumahan sebenarnya pernah menghadapi situasi ekonomi yang lebih buruk saat krisis moneter mengguncang Indonesia pada tahun 1998, dan 2005.
Gejolak perekonomian itu berimbas pada terpuruknya pasar perumahan, pembangunan proyek terhenti, investasi baru tertunda, dan target pembangunan sederhana sehat (RSH) untuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak tercapai.
Krisis moneter tahun 1998 bagaikan mimpi buruk bagi industri properti. Suku bunga kredit konstruksi membengkak hingga 50 persen. Perbankan menghentikan pemberian KPR sehingga memukul daya beli masyarakat. Konsumen yang sudah membayar uang muka 30 persen batal membeli rumah dan rumah-rumah siap huni tidak laku terjual.
Sementara itu, banyak pengembang terlanjur menggunakan dana bank untuk membiayai konstruksi. Sejumlah pengembang perumahan bangkrut karena persoalan cash flow sehingga pengembalian kredit kepada perbankan menjadi macet. Proyek properti komersial yang sebagian mengandalkan utang pihak asing juga tersendat, baik proyek apartemen, kondominium, hotel, maupun gedung-gedung tinggi.
Pascakrisis, industri properti mulai berbenah diri. Namun, belum lagi perbaikan tuntas dilaksanakan, perekonomian Indonesia kembali terguncang pada tahun 2005. Harga BBM yang naik hingga dua kali menyebabkan harga bahan bangunan dan harga rumah melambung. BI Rate naik menjadi 12,5 persen dan menyebabkan lonjakan suku bunga kredit konstruksi menjadi 17-18 persen.
Kondisi itu menyebabkan pasar properti lesu dan pengembang terpaksa berhemat dengan mengurangi ornamen rumah yang tidak perlu sehingga harga rumah bisa ditekan, serta mengurangi margin keuntungan agar harga rumah tetap terjangkau oleh masyarakat. Namun, upaya ini pun tidak banyak menolong.
Namun, pengalaman pahit itu mengantarkan pelaku usaha properti pada perubahan strategi dalam struktur permodalan. Sebagian pengembang besar yang sebelumnya sangat bergantung pada pinjaman dengan rasio utang terhadap modal (debt of equity ratio/DER) yang tinggi mulai menciptakan pendanaan proyek dengan menghimpun modal bersama dengan pengembang lain.
Beberapa perusahaan properti skala menengah bergabung untuk memperkuat permodalan, di antaranya Agung Podomoro Group dan Pikko Group yang lantas tumbuh menjadi perusahaan besar. Ada pula pengembang yang melepaskan saham ke publik guna mendukung permodalan, di antaranya PT Gapura Prima.
Sejumlah pengembang proyek perumahan kelas menengah menerapkan strategi membangun rumah berdasarkan pesanan dan tidak lagi menawarkan rumah siap huni (ready stock) guna mengurangi risiko pembiayaan.
Wakil Ketua REI Djoko Slamet mengakui, pembangunan proyek perumahan yang tidak bergantung pada pinjaman uang bank cenderung lebih andal menghadapi goncangan krisis keuangan. Pengembang dapat melakukan kerja sama permodalan dengan pengembang lain atau antara pengembang dan pemilik tanah.
Belum diadopsi
Meski skema permodalan patungan dalam proyek perumahan sudah mulai diretas oleh beberapa pengembang, skema itu belum sepenuhnya dipilih pengembang sebagai alternatif pembiayaan proyek.
Kendalanya, menurut Djoko, pengembang dan mitranya kerap terganjal pola pembagian (share) modal yang menjadi penentu kontribusi dana ataupun pembagian keuntungan. Tak jarang, pengembang bermodal minim akhirnya tetap meminjam dana bank guna menyamakan share modal dengan pengembang lain yang bermodal lebih kuat.
Pendapat senada dikemukakan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Fuad Zakaria. Permodalan patungan itu hanya efektif dilakukan oleh pengembang skala besar, tetapi kurang efektif diterapkan oleh pengembang proyek perumahan menengah ke bawah dengan areal lahan yang sempit.
Ketua DPD REI Jawa Barat Hari Raharta Sudrajad mengungkapkan, sebagian pengembang lebih memilih ancang-ancang pengamanan likuiditas dengan mengerem ekspansi bisnis, di antaranya menunda pembebasan lahan dan pembangunan proyek-proyek baru pada awal tahun 2009.
Sebagian pengembang juga menempuh upaya jangka pendek untuk mempertahankan pasar dengan mengurangi margin keuntungan dan menawarkan potongan cicilan KPR melalui subsidi bunga kredit.
Sebagai ilustrasi, apabila suku bunga kredit perumahan 15 persen, bunga dipotong satu persen melalui kerja sama pengembang dan perbankan. Meski demikian, upaya itu pun dirasa belum cukup untuk mengamankan pasar dan keberlangsungan proyek pembangunan perumahan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009, pemerintah menargetkan pembangunan rumah mencapai 1,34 juta unit. Target itu mencakup pembangunan 60.000 unit rusunawa, 25.000 unit rusunami, dan 1,26 juta unit rumah tinggal. Berkaitan dengan itu, pemerintah menargetkan pembangunan RSH bagi masyarakat menengah ke bawah 140.000 unit per tahun atau 51,85 persen dari target total penyediaan rumah.
Namun, pencapaian RPJM hingga menjelang akhir tahun 2008 masih jauh dari harapan. Selama tahun 2004-2007, penyerapan RSH baru berkisar 277.000 unit. Tahun 2008, target penyerapan RSH bersubsidi adalah 159.900 unit dengan anggaran subsidi sebesar Rp 800 miliar.
Hingga September 2008 atau triwulan III, total penyaluran subsidi RSH mencapai Rp 729,5 miliar. Dari jumlah itu, penyaluran subsidi untuk KPR RSH hingga September hanya 47.000 unit atau senilai Rp 227 miliar, sedangkan Rp 502,5 miliar untuk membayar tunggakan subsidi KPR RSH tahun 2007, yakni 70.000 unit.
Berdasarkan data Kementerian Negara Perumahan Rakyat, kebutuhan rumah baru setiap tahun mencapai 800.000 unit. Dengan demikian, penyediaan rumah rakyat dalam kurun 2004-2009 seharusnya 4 juta unit. Kekurangan penyediaan rumah itu selayaknya diwaspadai sebagai ”bom waktu” memuncaknya masalah perumahan.
Fuad mengatakan, sebagian besar pengembang proyek perumahan menengah ke bawah masih menggantungkan dana konstruksi berasal dari kredit perbankan. Oleh karena itu, pengetatan kredit akan membebani pengembang dalam mengentaskan program perumahan rakyat.
Sejurus dengan itu, pengetatan kredit juga rawan melemahkan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Apalagi, konsumen perumahan di segmen menengah tidak memperoleh bantuan pendanaan dari pemerintah berupa subsidi bunga kredit.
”Pemerintah harus terus mengawal keberlangsungan proyek perumahan rakyat dengan mendorong perbankan untuk memprioritaskan kredit pada proyek perumahan menengah ke bawah,” kata Fuad, yang juga menjabat Direktur Utama PT Adco Citra Asri dan Presiden Komisaris PT Titian Sakti.
Ciptakan kemandirian
Pengamat properti, Panangian Simanungkalit, mengatakan, dampak krisis keuangan global sudah saatnya diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam industri properti, baik pemerintah, perbankan, maupun pengembang. Pengetatan likuiditas jangan sampai mengorbankan hak rakyat dalam memperoleh perumahan layak huni.
Dari sisi pengembang, pengalaman pahit industri properti pada tahun 1998 dan 2005 sejatinya dijadikan pelajaran berharga untuk mengurangi ketergantungan kredit perbankan.
Menurut Panangian, skema kredit perbankan dinilai kurang cocok dengan proyek properti. Penyebabnya, kredit perbankan merupakan pendanaan jangka pendek, sedangkan proyek properti adalah jangka panjang. Akibatnya, sewaktu suku bunga kredit naik, pengembang kelimpungan.
Sementara itu, konsumen cenderung lebih bisa bertahan karena rumah sudah menjadi kebutuhan dasar sehingga mereka akan berupaya sekuat tenaga untuk membeli rumah sesuai kemampuan.
Meski demikian, konsumen selama ini cenderung menjadi ”pelengkap penderita” karena penyediaan rumah selalu lebih sedikit dibandingkan dengan permintaan. Sementara itu, informasi produk perumahan belum memadai.
”Sensitivitas konsumen lebih rendah dari korporasi yang cenderung bergantung pada kredit perbankan. Hal itu sudah seharusnya dilihat oleh pengembang sebagai peluang pasar sehingga berani menciptakan kemandirian modal,” kata Panangian.
Upaya yang harus ditempuh untuk menciptakan kemandirian modal, antara lain, melalui penggabungan (merger) modal bagi pembiayaan proyek. Konsolidasi juga dapat dilakukan pengembang dan pemilik tanah. Apalagi, penggabungan modal itu terbukti berhasil dilaksanakan oleh pengembang-pengembang menengah dan besar.
”Harus ada stimulus dari organisasi pengembang untuk mendorong anggotanya bergabung dan memperkuat permodalan,” katanya.
Selain itu, guna mengoptimalkan peluang pasar dan mempertahankan daya beli konsumen, pengembang perlu menempuh penghematan biaya konstruksi, penyederhanaan arsitektur, dan menciptakan manajemen yang rapi. Selain itu, pengembang juga perlu menggenjot promosi produk agar penyerapan perumahan lebih optimal.
Dari sisi pemerintah, krisis keuangan global harus dijadikan momentum untuk menggerakkan sektor properti dengan memangkas segala hambatan pembangunan proyek perumahan. Penyebabnya, kendala pembangunan rumah tidak semata-mata akibat permodalan, tetapi juga terkait dengan tata ruang dan perizinan.
Pemerintah juga perlu menunjukkan keberpihakan pada pembangunan perumahan rakyat melalui komitmen pendanaan rumah bersubsidi.