Thursday, October 23, 2008

Jangan Biarkan Industri Properti Mati

sumber harian umum Kompas 23 Oktober 2008
KRISIS keuangan di Amerika Serikat yang terjadi sekarang sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap keseluruhan kegiatan industri properti di Tanah Air. Berbeda dengan dampak yang dirasakan akibat krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997-1998. Banyak proyek properti yang berhenti seketika.

Akibatnya, ketika itu terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Industri properti termasuk salah bisnis yang pertama terkena krisis karena sebagian besar pembiayaannya mengandalkan pinjaman dari perbankan nasional dan utang dari lembaga keuangan di luar negeri.

Dengan demikian, begitu perbankan di dalam negeri mengalami krisis likuiditas, sementara kurs rupiah mengalami depresiasi yang sangat tajam (dari Rp 2.500 menjadi Rp 11.000 per dollar AS), otomatis sebagian besar proyek properti juga berhenti mendadak.

Padahal, waktu itu industri properti sedang tumbuh pesat. Kredit yang disalurkan perbankan nasional ke sektor properti waktu itu sekitar Rp 70 triliun. Waktu itu juga banyak perusahaan pengembang yang terpaksa dimasukkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di samping perusahaan perbankan yang juga dirawat di BPPN.

Ketika itu, industri properti ibarat mobil yang sedang lari kencang, kemudian berhenti secara mendadak. Meskipun tahun 1997 sektor properti terkena dampak langsung, industri ini justru bisa pulih lebih cepat. Tahun 2001, aset-aset properti di BPPN sudah bisa disehatkan dan sebagian telah dapat dijual kembali sehingga kegiatan proyek bisa berjalan kembali dengan normal.

Nah, yang terjadi sekarang berbeda. Krisis keuangan di Amerika memang antara lain dipicu oleh kredit macet di sektor properti (subprime mortgage), yang kemudian menghancurkan sejumlah lembaga keuangan terkemuka di Amerika. Akibat kejadian ini, memaksa Pemerintah AS memberikan dana talangan (bail out) sebesar 700 miliar dollar AS.

Sementara akibat krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997-1998, pemerintah harus mengeluarkan dana untuk rekapitalisasi perbankan sekitar Rp 600 triliun. Sekarang ibaratnya AS sedang terkena penyakit batuk. Lalu, negara-negara lain yang menjadi mitra dagang dan partner bisnisnya ikut-ikutan tertular.

Turunkan suku bunga

Amerika merupakan salah satu negara tujuan utama ekspor Indonesia. Dengan adanya krisis seperti sekarang, aktivitas ekspor ke negeri Paman Sam itu niscaya akan ikut terganggu, khususnya untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT). Namun, pada umumnya kegiatan sektor riil di Tanah Air khususnya industri properti tidak terlalu terkena imbas krisis di AS.

Untuk produk properti komersial, seperti pembangunan sejumlah pusat perbelanjaan di Jakarta dan sekitarnya, memang ada yang mengalami penundaan hingga tahun depan. Menurut catatan konsultan properti PT Property Advisory (Provis), penundaan dan pembatalan beberapa proyek pembangunan pusat perbelanjaan kemungkinan karena imbas krisis keuangan di AS yang mulai menjalar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Kendati proyek properti komersial terganggu, untuk proyek perumahan tidak terlalu terpengaruh. Namun, industri properti di Tanah Air bisa juga terganggu kalau suku bunga terus naik, sementara likuiditas dana di masyarakat sangat terbatas. Suku bunga pinjaman perbankan di dalam negeri saat ini melonjak hingga 17-18 persen per tahun.

Hal itu antara lain dipicu oleh perang suku bunga antarbank. Meski Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah untuk mengantisipasi penularan efek domino dari krisis keuangan di Amerika, sejumlah pelaku usaha menganggap kebijakan yang diberikan pemerintah belum maksimal.

”Dana penjaminan dari pemerintah bagi nasabah perbankan memang sudah dinaikkan, tetapi ini belum cukup. Pemerintah seharusnya menjamin seluruh dana nasabah yang disimpan di perbankan nasional,” kata President & CEO Sentul City A Hanafiah Komala. Dia kemudian membandingkan dengan kebijakan yang diambil Pemerintah Singapura dan Hongkong, yang menjamin seluruh dana masyarakat di perbankan negara tersebut.

Hal senada disampaikan Yan Mogi, Chairman & CEO PT Sanubari Mandiri Realtindo (SMR). Keduanya meminta agar BI segera menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate. ”Di negara lain suku bunga diturunkan, tetapi di Indonesia malah naik. Untuk menurunkan suku bunga tidak harus menunggu Rapat Dewan Gubernur BI awal November nanti,” kata Yan Mogi, yang juga mantan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia (DPP REI).

Jika perang suku bunga antarbank tidak segera diatasi dan likuiditas dana dibiarkan terus mengering, industri perumahan akan ikut terganggu dan bisa mati secara perlahan. Menurut Yan Mogi, hal itu tidak masalah kalau kredit untuk modal kerja untuk pengembang naik menjadi 14 persen per tahun atau kredit pemilikan rumah (KPR) untuk konsumen naik menjadi 11-12 persen per tahun.

Akan tetapi, kalau kenaikan suku bunga pinjaman saat ini sudah mencapai 17-18 persen per tahun, sudah susah bagi dunia usaha untuk bisa menjalankan bisnisnya. Pilihannya sekarang, apakah BI mau tetap mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi untuk menahan laju inflasi atau mau mengorbankan dunia usaha serta masyarakat yang membutuhkan KPR untuk membeli rumah.

Jika BI tetap memilih mempertahankan kebijakan suku bunga tinggi, pemulihan dari keterpurukan sektor riil nanti membutuhkan waktu lama. Kalau kegiatan usaha terganggu, ujung-ujungnya akan memicu terjadinya gelombang PHK. Apalagi, industri properti termasuk sektor usaha padat karya.

Para pemangku kepentingan di sektor perumahan dan industri properti tidak mengharapkan mimpi buruk seperti krisis ekonomi tahun 1997-1998 terulang kembali sekarang. Oleh karena itu, supaya industri properti di Tanah Air tetap bisa bertahan, para pengambil kebijakan di lingkungan pemerintah dan BI hendaknya bisa melihat realitas dunia usaha dan kebutuhan riil masyarakat. Semoga.